Ancol
Kawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas
kompleks Pelabuhan Samudera Tanjung Priuk. Dewasa ini kawasan tersebut
dijadikan sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan
Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara.
Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut sedang
pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah sekitarnya
sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang – orang Belanda zaman VOC menyebut
kawasan tersebut sebagai Zoutelande. “tanah asin” sebutan yang juga diberikan
untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada tahun 1656(De Haan 1935:103 –
104).
Untuk menghubungkan Kota Batavia yang pada zaman itu berbenteng dengan kubu
tersebut, sebelumnya telah dibuat terusan, yaitu Terusan Ancol, yang sampai
sekarang masih dapat dilayari perahu. Kemudian dibangun pula jalan yang sejajar
dengan terusan.
Pembuatan terusan, jalan dan kubu pertahanan di situ, karena dianggap srtategis
dalam dalam rangka pertahanan kota Batavia. Sifat strategis kawasan Ancol
rupanya sudah dirasakan pada masa agama Islam mulai tersebar didaerah pesisir
Kerajaan Sunda. Dalam Koropak 406, Carita Parahiyangan, Ancol disebut – sebut
sebagai salah satu medan perang disamping Kalapa Tanjung Wahanten (Banten) dan
tempat – tempat lainnya pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535).
Angke
Asal usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu
ang yang artinya darah (merah) dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini
dinamakan Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan
sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang- orang
Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.
Mayat orang orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali yang
ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan
mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum
peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena
orang Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.
Bangka
dulunya disana banyak ditemukan mayat (bangke/bangkai) orang yg dibuang di
kali krukut.
Bidaracina
Bidaracina dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan, kelurahan Bidaracina,
Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur. Menurut beberapa informasi,
kawasan tersebut dikenal dengan nama Bidaracina, karena pada waktu terjadi
pemberontakan orang – orang Cina di Batavia dan sekitarnya terhadap Kompeni
pada tahun 1740, ribuan dari mereka terbunuh mati, bermandi darah. Di antaranya
di tempat yang kemudian disebut Bidaracina itu.
Informasi tersebut tidak mustahil mengandung kebenaran walaupun mengundang
beberapa pertanyaan, kenapa hanya dikawasan itu yang disebut Bidaracina, karena
banyak orang Cina mati bermandikan darah?. Padahal peristiwa pembunuhan itu
konon terjadi di pelosok Kota Batavia dan sekitarnya. Kenapa tidak di sebut
Cina berdarah, sesuai dengan kaidah bahasa Melayu, yang kemudian berubah
menjadi cinabedara, selanjutnya menjadi cinabidara?
Perkiraan lainnya, asal nama kawasan tersebut dari bidara yang ditanam oleh
orang Cina di situ. Bidara, atau bahasa ilmiahnya Zizyphus jujube Lam, famili
Rhanneae, adalah pohon yang kayunya cukup baik untuk bahan bangunan,. Akar dan
kulitnya yang rasanya pahit, mengandung obat penyembuh beberapa macam penyakit,
termasuk sesak nafas. Di ketiak dahannya biasa timbul gumpalan getah. Buahnya
dapat dimakan (Fillet 1888:52)
Ada kaitannya dengan perkiraan tersebut, yaitu keterangan tentang adanya
seorang Cina yang mengikat kontrak yang aktanya dibuat oleh Notaris Reguleth
tertanggal 9 Oktober 1684, untuk menanami kawasan sekitar benteng Noordwijk
dengan pohon buah – buahan, termasuk pohon Bidara (De Haan 1911, (11):613).
Walaupun di luar kontrak tersebut, mungkin saja seorang Cina menanam bidara di
tempat yang kini dikenal dengan sebutan Bidaracina itu.
Cawang
Kawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang,
Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.Nama kawasan tersebut berasal
dari nama seorang Letnan Melayu yang mengabdi kepada Kompeni, yang bermukim
disitu bersama pasukan yang dipimpinnya, bernama Enci Awang.(Awang, mungkin
panggilan dari Anwar). Lama – kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi
Cawang. Letnan Enci Awang adalah bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama
pasukannya bermukim dikawasan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Melayu,
sebelah selatan Jatinegara.
Kurang jelas, apakah sebagian atau seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah
menjadi milik Pieter van den Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain
seperti Tanjungtimur atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan
Cililitan (De Haan, 1910:50).
Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir, karena disana bermukim
seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin, alias Bapak Cungok. Sairin
dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang
pada tahun 1924. Di samping itu. Ia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan
Entong Gendut, di Condet tahun 1916. Condet pada waktu itu termasuk bagian tanah
partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro 1984, (IV):299 – 300).
Batu Ampar
Batu Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut
Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Batuampar,
Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah kelurahan Batuampar di
sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan Balekambang, (lengkapnya
Condet Balekambang), yang dalam sejarahnya berkaitan satu sama lain.
Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut sebagaimana diceritakan oleh
orang – orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul
Condet, sebagai berikut.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai
Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, perempuan, diberi
nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar
oleh Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur
Condet, untuk salah seorang anaknya, bernama Pangeran Astawana.
Supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang – senang di atas
empang, dekat kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam.
Permintaan itu disanggupi dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya
sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Cliwung,
sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari dengan batu, mulai dari tempat
kediaman keluarga Pangeran Tenggara .
Demikianlah, menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu
selanjutnya disebut Batuampar, dan bale (Balai) peristirahatan yang seolah –
olah mengambang di atas air kolam dijadikan nama tempat . Balekambang.
Pada awal abad keduapuluh di Batuampar terdapat perguruan silat yang dipimpin
antara lain oleh Maliki dan Modin (Pusponegoro, 1984, IV:295). Pada tahun 1986,
seorang guru silat di Batuampar, Saaman, terpilih sebagai salah seorang tenaga
pengajar ilmu bela diri itu di Negeri Belanda, selama dua tahun. Tidak
mustahil, kemahiran Saaman sebagai pesilat, sehingga terpilih menjadi pengajar
di mancanegara itu, adalah kemahiran turun – temurun.
Senin, 29 Oktober 2012
Jumat, 26 Oktober 2012
SEJARAH SINGKAT JAKARTA
SEJARAH SINGKAT JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota
negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang
memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau
Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta
(1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta
(1942-1972).
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Nama Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk
menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata
Jayakarta, yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan
Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa
pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota
kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah
"kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).
Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Jakarta (1942–Sekarang)
Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
sumber: wikipedia
Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
sumber: wikipedia
Langganan:
Postingan (Atom)