Minggu, 02 Desember 2012

Patung dan Ikon di Jakarta


1. Patung Selamat Datang
Lokasi: Bundaran Hotel Indonesia
Patung (tugu) Selamat Datang dibangun untuk menyambut para peserta SEA Games IV yang diadakan di Jakarta pada tahun 1962. Patung ini dibangun persis di atas air mancur di depan Hotel Indonesia. Sketsa awalnya dibuat oleh Henk Ngantung mantan Gubernur Jakarta yang juga seorang seniman lukis. Pengerjaannya dilakukan oleh Edhi Sunarso seorang seniman patung dari Yogyakarta.
Patung berbahan perunggu ini dibuat menghadap utara kota Jakarta yang memang pada saat itu menjadi pusat bisnis, perdangangan dan jalur masuk pendatang dari pelabuhan. Air mancur yang mengelilingi patung ini sebenarnya memiliki lima formasi yang melambangkan ideologi Republik Indonesia yakni Pancasila. Diyakini pula mempunyai makna untuk memberikan salam kepada warga kota sesuai dengan waktu, yaitu Selamat Pagi, Selamat Siang, Selamat Petang, Selamat Malam, dan Selamat Hari Minggu. Ini menandakan bahwa Jakarta sebagai metropolitan adalah kota yang tidak pernah tertidur. Namun belakangan air mancur ini jarang dinyalakan sehubungan dengan niat pemerintah untuk menghemat listrik.

2. Patung Dirgantara (Patung Pancoran)
Lokasi: Pancoran, Jakarta Selatan
Patung ini mempunyai beberapa nama samaran seperti Patung Pancoran (karena letaknya di Pancoran), patung Superman, Patung ‘Hey Kamu’. Padahal sesuai namanya, Patung DIrgantara, patung ini sebenarnya adalah untuk menggambarkan keperkasaan kekuatan digantara negara kita. Seperti kebanyakan patung di Jakarta, Patung Dirgantara juga dikerjakan oleh seniman Edhi SUnarso.
Tangan patung ini sebenarnya menunjuk ke arah utara tempat Bandar Udara Internasional Kemayoran, yang merupakan bandara internasional pertama yang dimiliki Jakarta. Selain itu lokasinya memang dekat dengan Markas Besar Angkatan Udara yang berada di selatannya. Sebelah tenggaranya terdapat di Bandar Udara Domestik Halim Perdana Kusuma. Dari cerita yang beredar Bung Karno harus merelakan menjual mobilnya untuk membiayai pembangunan patung ini.

3. Patung Pahlawan (Tugu Tani)
Lokasi: Jl. Prapatan, Jakarta Pusat
Populer dengan panggilan Tugu Tani, Patung Tani, Patung Pak Tani. Nama asli patung ini adalah Patung Pahlawan. Karena patung ini memakai caping, maka disebutlah dengan Patung (tugu) Tani.

Cerita pembangunan patung ini berawal dari kunjungan Presiden Sukarno ke Moskow. Disana ia terkesan dengan patung-patung yang ada disana. Nikita Kruschev, pemimpin Uni Sovyet saat itu lalu mengenalkan Sukarno dengan seorang seniman patung Matvei Manizer dan anaknya Otto Manizer. Mereka diundang ke Indonesia dan diminta untuk membuat patung yang melambangkan semangat perjuangan Indonesia.
Bapak dan anak itupun lalu berkesempatan untuk berkeliling dan menemukan sebuah legenda di daearah Jawa Barat yang berkisah tentang seorang ibu yang mengiringi anaknya untuk maju berperang. Anaknya meminta restu dan sang ibu pun memberikan semangat dan berpesan utnuk tidak melupakan orang tua dan negaranya. Kisah inilah yang diabadikan oleh kedua seniman patung asal Rusia itu menjadi sebuah patung.
Pengerjaan patung perunggu ini dikerjakan di Rusia, dan dibawa ke Indonesia dengan menggunakan kapal laut. Diresmikan pada tahun 1963 oleh Presidenn Sukarno. Pada monumen ini diletakkan sebuah prasasti yang bertuliskan “Bangsa Yang Menghargai Pahlawannya Adalah Bangsa Yang Besar.”

4. Patung Pemuda Membangun
Lokasi: Bundaran Senayan
Monumen ini dibuat oleh team patung yang tergabung dalam Biro “ISA” (Insinyur Seniman Arsitektur) di bawah pimpinan Imam Supardi. Penanggung jawab pelaksanaan ialah Munir Pamuncak. Berbeda dengan patung yang dibangun pada saat era Sukarno yang menggunakan perunggu, patung ini dibuat dari beton bertulang dengan adukan semen dan bagian luarnya dilapisi dengan bahan teraso. Pekerjaan dimulai bulan Juli 1971 dan diresmikan bulan Maret 1972.
Rencana semula peresmiannya akan dilakukan pada acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 1971, akan tetapi pada saat itu patung belum siap sehingga tertunda beberapa bulan. Patung ini menggambarkan seorang pemuda dengan semangat menyala-nyala membawa obor. Dari jauh patung ini terlihat bagai tanpa busana, guratan-guratan urat dan gumpalan otot ditonjolkan untuk mendukung ekspresi gerak dari tokoh pemuda. Sedangkan makna obor ialah sebagai penerang dan secara filosofis untuk menerangi hati yang gelap.
Tujuan yang ingin dicapai dengan manifestasi patung ini ialah untuk mendorong semangat membangun yang pada hakekatnya harus dilakukan oleh para pemuda atau orang-orang yang berjiwa muda.

5. Patung Arjuna Wijaya/Patung Asta Brata
Lokasi: Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat
Patung yang dibuat pada tahun 1987 ini menggambarkan sosok Arjuna dalam kisah perang Baratayudha. Adegan ini diambil pada saat Kresna (yang mengendalikan kereta kuda) dan Arjuna sedang melawan Adipati Karna. Delapan kuda yang menarik kereta melambangkan delapan falsafah hidup (Asta Brata) yang menjadi panutan Suharto pada masa itu. Asta Brata itu meliputi falsafah bahwa hidup harus mencontoh bumi, matahari, api, bintang, samudra, angin, hujan dan bulan. Di bagian patung itu nempel prasasti yang bertuliskan ‘Kuhantarkan kau melanjutkan perjuangan dengan pembangunan yang tidak mengenal akhir.’
Pada waktu pembuatannya, karena keterbatasan dana, akhirnya patung itu dibuat dari bahan poliester resin yang punya kelemahan mudah rapuh jika terkena sinar ultraviolet. Terbukti patung ini tidak bertahan lama, sampai pada akhirnya tahun 2003 direnovasi dengan biaya Rp. 4 Milyar. Material patung diganti dengan bahan tembaga.

6. Patung Pembebasan Irian Barat
Lokasi: Lapangan Banteng, Jakarta Pusat
Disebut juga Monumen Pembebasan Irian Barat. Merupakan monumen tanpa penokohan berbentuk patung yang terletak di tengah-tengah Lapangan Banteng. Monumen ini dibuat pada waktu perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan wilayah Irian Barat mencapai puncaknya pada tahun 1962. Ide awal berasal dari Soekarno, kemudian “diterjemahkan” oleh Henk Ngantung dalam bentuk sketsa. Ide tersebut tercetus dari pidato Soekarno di Yogyakarta. Patung ini menggambarkan seorang yang telah berhasil membebaskan belenggu dari penjajahan Belanda. Patung ini dibuat dari bahan perunggu dan dilaksanakan oleh Team Pematung Keluarga Area Yogyakarta dibawah pimpinan Edhi Sunarso. Lama pembuatan patung ini adalah 1 tahun dan diresmikan tanggal 17 Agustus 1963 oleh Soekarno.
Ada cerita yang melekat pada pembuatan patung ini. Suatu hari Sukarno bertemu dengan Mayor Dimara, seorang tokoh dari Irian (sekarang Papua). Ia bertanya kepada Dimara soal rasa kebangsaannya. “Dari mana anak tahu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke?” Tanpa pikir panjang, ia menjawab, “Bapak, saya cuma pikir, orang di Irian makan pinang, di Ambon makan pinang, di Jawa juga makan pinang. Jadi sebenarnya sama saja, kita sama-sama orang Indonesia!” Jawaban sederhana itu membuat Soekarno tertegun dan mengangguk setuju.
Soekarno sempat membuat Dimara kaget saat keduanya bercakap-cakap di Istana Merdeka, 18 Agustus 1962, “Saya akan buat monumen! Agar seluruh rakyat Indonesia tahu, pembebasan Irian Barat itu sudah berhasil.” Kelak, monumen yang dimaksud berdiri dengan gagah di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Patung pemuda setinggi 11 meter dengan rambut keriting yang seolah berkibar ditiup angin itu mencitrakan sosok Dimara. Wajahnya sangat ekspresif, seperti sedang berteriak. Rantai di kedua tangannya yang terangkat, terlihat putus terurai, seolah baru saja disentak sekuat tenaga.

Awalnya tidak disebutkan secara resmi, dari mana inspirasi monumen yang bentuknya diterjemahkan pelukis Henk Ngantung (dalam sktesa) dari pikiran Soekarno itu. Padahal, saat meresmikan monumen di hadapan sejumlah kepala suku Papua, Soekarno pernah mengatakan, “Itu yang di atas, patung Mayor J. A. Dimara!”

7. Patung Jenderal Sudirman
Lokasi: Jl. Jenderal sudirman, Jakarta Selatan
Rencana pembangunan patung Sudirman dan sejumlah patung yang akan menghiasi jalan protokol sesuai nama jalan mencuat pada September 2001. Rencana itu merupakan realisasi sayembara patung pahlawan yang dilakukan tahun 1999. Lokasi patung merupakan satu garis lurus yang berujung dari Patung Pemuda Membangun di Kebayoran sampai Tugu Monumen Nasional.
Biaya pembangunan patung yang menelan dana 6,6 miliar Rupiah berasal dari pengusaha, bukan dari APBD DKI Jakarta. Sebagai kompensasinya pengusaha mendapat dua titik reklame di lokasi strategis, Dukuh Atas. Sementara yang menentukan penyandang dana diserahkan kepada keluarga Sudirman.
Menurut rencana Patung Jenderal Sudirman sedianya akan diresmikan 22 Juni 2003 bertepatan HUT ke-476 Jakarta, namun tidak terealisasi. Peresmian akhirnya dilaksanakan tanggal 16 Agustus 2003. Peresmian sempat diwarnai unjuk rasa sekelompok pemuda. Panglima Besar Kemerdekaan RI yang seharusnya menjadi simbol semangat perjuangan bangsa Indonesia kini telah pudar makna kepahlawanannya. Karena Jenderal Sudirman digambarkan sedang dalam posisi menghormat. Posisi patung dianggap tidak pada tempatnya karena sebagai Panglima Besar, Sudirman tidak selayaknya menghormat kepada sembarang warga yang melintasi jalan, yang justru seharusnya menghormati. Hal ini pula yang sempat diangkat dalam film Nagabonar 2. Meski demikian Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso didampingi Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta Maurits Napitupulu dan salah satu keluarga besar Jenderal Sudirman, Hanung Faini, tetap meresmikan berdirinya Patung Jenderal Sudirman itu.
Jenderal Sudirman adalah pemimpin pasukan gerilya pada masa perang kemerdekaan (1945-1949). Ia menyandang anugerah Panglima Besar. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negera layak dikenang dan diabadikan.

8. Patung Pangeran Diponegoro
Lokasi: Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat
Patung ini sukses menggantikan patung tokoh wanita yang sebelumnya berada di tempat ini. Patung yang berdiri di hamparan bunga-bunga rambat yang didominasi warna hijau dan jingga dibagian pinggir. Dari kejauhan tampak jelas patung yang menggambarkan Pangeran Diponegoro sedang menunggangi seekor kuda. Terletak dipertemuan Jalan Diponegoro dengan Jalan Imam Bonjol. Diapit dua objek yaitu Gedung Bappenas dan Taman Suropati. Diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tanggal 6 Desember 2005.
Dari kejauhan tampak jelas patung yang menggambarkan Pangeran Diponegoro sedang menunggangi seekor kuda yang sedang mengangkat kedua kakinya sembari Diponegoro menghempaskan tombak yang terlihat seakan sedang melawan musuh dari atas kuda. Patung Diponegoro menempati lahan seluas 3000 m2, lengkap dengan air mancur di bawah patung seluas 110 m2. Patung Diponegoro merupakan hibah dari Ciputra, arsitek sekaligus pengusaha real estate pemilik Grup Ciputra. Menurut Ciputra, proses pembuatan sampai penempatan patung yang terbuat dari perunggu itu membutuhkan waktu hampir setahun.

9. Monumen Proklamator Soekarno-Hatta
Lokasi: Taman Proklamasi, Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat
Monumen ini dibangun sebagai peringatan kepada dua proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan M. Hatta. Pembuatannya dilaksanakan pada bulan November 1979-1980 oleh beberapa pematung diantaranya: Ir. Budiono Soeratno, I Sardono Sugiyo, Y. Sumartono, Drs. Nyoman, dan G. Sidarta Sugiyo. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1980 diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.
Secara fisik monumen Soekarno-Hatta terdiri dan Patung Soekarno yang dibuat dan bahan perunggu dengan tinggi 4,60 m; Patung Bung Hatta dibuat dari bahan perunggu dengan ketinggian 4,30 m; Naskah Proklamasi terbuat dan bahan perunggu; Elemen Latar Belakang berupa relung-relung segitiga yang berjumlah 17 buah dan terbuat dan bahan marmer Tulungagung.
Tempat berdirinya monumen ini dulunya adalah lokasi rumah Soekarno yang dipakai sebagai tempat pembacaan proklamasi. Namun oleh pemerintahan Suharto, rumah tersebut dirubuhkan dan diganti dengan taman yang menyatu dengan Gedung Pola.

11.  Monumen Perjuangan Jatinegara
Lokasi: Depan Pasar Jatinegara, Jakarta Timur
Monumen ini dibangun untuk mengenang peristiwa-peristiwa perjuangan rakyat di Jakarta Timur pada umumnya dan Jatinegara pada khususnya. Berbagai peristiwa yang pernah terjadi merupakan rangkaian perjuangan di daerah-daerah, seperti Pasar Jangkrik (Pasar Macan), Paseban, Kampung Melayu, Pulomas, dsb. Ide pembuatan patung diprakarsai oleh Gubernur KDKI Jakarta saat itu Ali Sadikin.
Monumen dibangun di ujung Jl. Matraman pada pertemuan Jl. Jatinegara Barat dan Urip Sumoharjo dekat Gereja Eukomunia. Sedianya monumen ini akan dibangun di sekitar lokasi Viadek (viaduct) Jatinegara tetapi karena lokasi tidak memungkinkan, dialihkan di Jl. Matraman Raya.

Monumen ini dibangun dengan gaya realis berbentuk sosok manusia yang berdiri tegak di atas landasan yang tingginya 3 meter. Patung yang menggambarkan seorang pemuda berukuran 2,5 m berdiri tegak dengan tangan sedekap (tangan di dada) sambil memeluk senapan, dipunggungnya tergantung sebuah ransel, berikat pinggang dengan dilengkapi peralatan perang seperti pistol, granat golok, dompet dan sebuah tempat minum. Di samping berdiri seorang anak laki-laki setinggi 1 m  bercelana pendek tanpa baju dengan kaki telanjang, di leher bergantung sebuah ketapel. Di bawah patung terdapat tulisan patung perjuangan Jatinegara, diresmikan tanggal 7 Juni 1982 oleh Gubernur KDKI Jakarta, Tjokropranolo. Pembuatan patung ini memakan waktu 2,5 tahun, bahan pembuatan patung ini adalah beton cor dan gips, pengecoran dilakukan di Yogyakarta. Sebagai pematungnya adalah Haryadi.

Rabu, 21 November 2012

MASKOT JAKARTA...TERNYATA BUKAN MONAS

           




Siapa yang tahu apakah yang menjadi maskot kota Jakarta? Anda salah jika menjawab Monas, apalagi ondel-ondel. Maskot kota Jakarta adalah elang bondol dan salak condet, tepat seperti yang tergambar di badan bus Transjakarta. Tidak yakin? Simak sejarahnya berikut ini.

                         

Gubernur Ali Sadikin melalui Keputusan Gubernur No. 1796 Tahun 1989 menetapkan elang bondol berwarna coklat dan berkepala putih dengan posisi bertengger pada sebuah ranting dengan beberapa buah salak condet dalam cengkramannya sebagai maskot Jakarta. Elang bondol yang memiliki nama latin Haliastur indus ini merupakan burung migran yang juga terdapat di Australia, India, Cina Selatan, dan Filipina. Jakarta merupakan salah satu tempat persinggahan tetap burung yang mampu terbang hingga ketinggian 3.000 meter ini.

Sementara asal muasal salak condet dijadikan maskot adalah karena salak condet atau Salacca zalacca merupakan buah asli Jakarta yang tumbuh di kawasan Condet. Salak ini tidak kalah tenar dibandingkan dengan salak pondoh atau salak bali yang konon ketenarannya sudah mencapai seluruh wilayah Jawa dan Sumatera. Kawasan Condet sendiri aslinya merupakan kawasan cagar budaya seluas 18.228 Hektar. Namun seiring dengan bertambahnya pemukiman dan masyarakat pendatang, maka perkebunan salak serta proporsi masyarakat Betawi di kawasan tersebut semakin berkurang.


   Selain tertera pada badan bus Transjakarta, maskot Jakarta ini juga dapat ditemui dalam bentuk tugu di hampir semua perbatasan provinsi Jakarta dengan Banten atau dengan Jawa Barat, misalnya di Jl. Bekasi Raya km 27 Ujung Menteng Jakarta Timur dan di Jl. Daan Mogot. Terdapat juga di sudut persimpangan jalan raya dalam kota seperti di kawasan By Pass Cempaka Putih. Sayangnya, maskot yang terlihat gagah ini justru sedang terancam punah. Populasi elang bondol semakin

berkurang karwa ilegal dan rusaknya habitat wilayah rawa di Jakarta. Elang bondol yang masih tersisa hanya dapat ditemui di Cagar Alam Laut Pulau Rambut dan Kebun Binatang Ragunan. Sedangkan perkebunan salak condet yang tadinya luas kini lahannya hanya tersisa 20 persen tergerus oleh pemukiman yang terus berkembang.

sumber : http://eljohnnews.com/category/art-culture/maskot-jakarta-bukan-monas-lho

Sabtu, 03 November 2012

Sekilas Putera Puteri Berprestasi dari Jakarta

Beberapa putera puteri jakarta telah memberikan kontribusi nyata bagi negara ini, diantaranya ialah

Beberapa putera jakarta yang menjadi Pahlawan Nasional ialah Mohammad Husni Thamrin,Ia dikenal sebagai salah tokoh Jakarta (dari organisasi Kaoem Jakarta) yang pertama kali menjadi anggota Dewan Rakyat di Hindia Belanda (Volksraad), mewakili kelompok Inlanders. Sejak 1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui Parindra. Beliau juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepakbola Indonesia, karena beliau menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda (Indonesia) pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (Jakarta).kemudian ada Ismail Marzuki seniman asal Jakarta yang mendapat penghormatan dengan dibukanya TIM(Taman Ismail Marzuki) atas karya-karya seninya,ia banyak menciptakan lagu-lagu nasional diantaranya Indonesia Pusaka, Rayuan Pulau Kelapa, Gugur Bunga, Selamat Datang Pahlawan Muda,dll, dan juga K.H.Noerali seorang ulama sekaligus pahlawan nasional dari suku jakarta yang lahir di bekasi, kisahnya tertulis di dalam kisah kepahlawanan -antara karawang-bekasi- "dikutip dari wikipedia"


Dibidang Pemerintahan ada Imam Syafi'i menteri dalam kabinet 100 masa pemerintahan Bung Karno, Ridwan Saidi yang menjadi mantan anggota DPR, ketua partai Masyumi Baru 1995-2003, direktur executive Indonesia Democracy watch,dll,, selain itu juga adaTutty Alawiyah sebagai mantan Menteri Negara Peranan Wanita dan Hasan wirayuda yang pernah menjabat sebagai mantan Menteri Luar Negeri dan kini ada nama Suryadarma Ali sebagai Menteri Agama.Wahidin Halim Walikota Tanggerang dan Fauzi Bowo mantan gubernur Jakarta.





Di bidang Militer dan Polri juga ada putera Jakarta yang pernah mencapai pangkat letnan jenderal. Ia adalah Letjen TNI (Purn) Muhammad Sanif. Semasa aktif, ia pernah menjabat Pangdam Bukit Barisan. Juga ada Mayjen TNI (Purn) H Nachrowi Ramli yang pernah memimpin Lembaga Sandi Negara dan kini memimpin Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Jakarta. di Polri juga ada Komjen Pol (Purn) Adang Daradjatun yang pernah menjadi Kapolda Jawa Barat dan WakaPolri.



Dibidang keagamaan ialah ada pula ulama-ulama besar seperti Habib Ali yang mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. k.h. abdullah syafi'i dan puteranya K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafe'i terkenal dengan pondok pesantrennya assyafi'iah, KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front depan Bekas -- Karawang -- Purwakarta. KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, KH Abdurahman Nawi, KH Habib Alwi Jamalullail, K.H.Zainuddin .M.Z yang terkenal dengan da'i sejuta umat, dan masih banyak lagi



Dibidang Kesenian juga ada nama seperti, Benyamin Sueb (tokoh perfilman), Deddy Mizwar(tokoh perfilman,produser,sutradara), Mandra (tokoh perfilman komedi), Surya Saputra (penyanyi,artis), Alya Rohali (mantan Puteri Indonesia), Ussy Sulistyowati (Penyanyi, Artis), Chairil Gibran Ramadhan (sastrawan), dll




Selain itu, putera-putera Jakarta juga tercatat di bidang lain, seperti di bidang perbankan tampil Abullah Ali yang pernah menjadi Dirut Bank BCA, dan di bidang keilmuan mencuat nama Prof Dr MK Tadjudin yang pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (UI).


dan masih banyak lagi yang belum tersebutkan.

Senin, 29 Oktober 2012

ASAL NAMA DAERAH DI JAKARTA

Ancol
Kawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas kompleks Pelabuhan Samudera Tanjung Priuk. Dewasa ini kawasan tersebut dijadikan sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara.
Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang – orang Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut sebagai Zoutelande. “tanah asin” sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada tahun 1656(De Haan 1935:103 – 104).
Untuk menghubungkan Kota Batavia yang pada zaman itu berbenteng dengan kubu tersebut, sebelumnya telah dibuat terusan, yaitu Terusan Ancol, yang sampai sekarang masih dapat dilayari perahu. Kemudian dibangun pula jalan yang sejajar dengan terusan.
Pembuatan terusan, jalan dan kubu pertahanan di situ, karena dianggap srtategis dalam dalam rangka pertahanan kota Batavia. Sifat strategis kawasan Ancol rupanya sudah dirasakan pada masa agama Islam mulai tersebar didaerah pesisir Kerajaan Sunda. Dalam Koropak 406, Carita Parahiyangan, Ancol disebut – sebut sebagai salah satu medan perang disamping Kalapa Tanjung Wahanten (Banten) dan tempat – tempat lainnya pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535).

Angke
Asal usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang yang artinya darah (merah) dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang- orang Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.
Mayat orang orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali yang ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena orang Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.

Bangka
dulunya disana banyak ditemukan mayat (bangke/bangkai) orang yg dibuang di kali krukut.

Bidaracina
Bidaracina dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan, kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur. Menurut beberapa informasi, kawasan tersebut dikenal dengan nama Bidaracina, karena pada waktu terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia dan sekitarnya terhadap Kompeni pada tahun 1740, ribuan dari mereka terbunuh mati, bermandi darah. Di antaranya di tempat yang kemudian disebut Bidaracina itu.
Informasi tersebut tidak mustahil mengandung kebenaran walaupun mengundang beberapa pertanyaan, kenapa hanya dikawasan itu yang disebut Bidaracina, karena banyak orang Cina mati bermandikan darah?. Padahal peristiwa pembunuhan itu konon terjadi di pelosok Kota Batavia dan sekitarnya. Kenapa tidak di sebut Cina berdarah, sesuai dengan kaidah bahasa Melayu, yang kemudian berubah menjadi cinabedara, selanjutnya menjadi cinabidara?
Perkiraan lainnya, asal nama kawasan tersebut dari bidara yang ditanam oleh orang Cina di situ. Bidara, atau bahasa ilmiahnya Zizyphus jujube Lam, famili Rhanneae, adalah pohon yang kayunya cukup baik untuk bahan bangunan,. Akar dan kulitnya yang rasanya pahit, mengandung obat penyembuh beberapa macam penyakit, termasuk sesak nafas. Di ketiak dahannya biasa timbul gumpalan getah. Buahnya dapat dimakan (Fillet 1888:52)
Ada kaitannya dengan perkiraan tersebut, yaitu keterangan tentang adanya seorang Cina yang mengikat kontrak yang aktanya dibuat oleh Notaris Reguleth tertanggal 9 Oktober 1684, untuk menanami kawasan sekitar benteng Noordwijk dengan pohon buah – buahan, termasuk pohon Bidara (De Haan 1911, (11):613). Walaupun di luar kontrak tersebut, mungkin saja seorang Cina menanam bidara di tempat yang kini dikenal dengan sebutan Bidaracina itu.

Cawang
Kawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.Nama kawasan tersebut berasal dari nama seorang Letnan Melayu yang mengabdi kepada Kompeni, yang bermukim disitu bersama pasukan yang dipimpinnya, bernama Enci Awang.(Awang, mungkin panggilan dari Anwar). Lama – kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi Cawang. Letnan Enci Awang adalah bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim dikawasan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.
Kurang jelas, apakah sebagian atau seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah menjadi milik Pieter van den Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain seperti Tanjungtimur atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan Cililitan (De Haan, 1910:50).
Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin, alias Bapak Cungok. Sairin dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang pada tahun 1924. Di samping itu. Ia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut, di Condet tahun 1916. Condet pada waktu itu termasuk bagian tanah partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro 1984, (IV):299 – 300).

Batu Ampar
Batu Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Batuampar, Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah kelurahan Batuampar di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan Balekambang, (lengkapnya Condet Balekambang), yang dalam sejarahnya berkaitan satu sama lain.
Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut sebagaimana diceritakan oleh orang – orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet, sebagai berikut.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, perempuan, diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk salah seorang anaknya, bernama Pangeran Astawana.
Supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang – senang di atas empang, dekat kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu disanggupi dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Cliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari dengan batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara .
Demikianlah, menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batuampar, dan bale (Balai) peristirahatan yang seolah – olah mengambang di atas air kolam dijadikan nama tempat . Balekambang.
Pada awal abad keduapuluh di Batuampar terdapat perguruan silat yang dipimpin antara lain oleh Maliki dan Modin (Pusponegoro, 1984, IV:295). Pada tahun 1986, seorang guru silat di Batuampar, Saaman, terpilih sebagai salah seorang tenaga pengajar ilmu bela diri itu di Negeri Belanda, selama dua tahun. Tidak mustahil, kemahiran Saaman sebagai pesilat, sehingga terpilih menjadi pengajar di mancanegara itu, adalah kemahiran turun – temurun.

Jumat, 26 Oktober 2012

SEJARAH SINGKAT JAKARTA

SEJARAH SINGKAT JAKARTA

Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).

Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Nama Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta, yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".

Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten  yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten  sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).

Sunda Kelapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura.

Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Jayakarta (1527–1619)

Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

Batavia (1619–1942)

Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.

Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.

Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.

Jakarta (1942–Sekarang)

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.

Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.

Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.

sumber: wikipedia